Senin, 08 November 2021

Mengapa Kitab Fikih Umumnya Diawali dengan Bab Thoharoh?

Mengapa dalam rata-rata kitab fikih bab thoharoh (bersuci) ditempatkan sebagai bab awal yang membuka kitab? Apakah karena para ulama fikih menomorsatukan kebersihan? 


Memang, Islam sangat menghargai kebersihan. Dan kebersihan juga sangat penting bagi Islam. Rasulullah menyatakan bahwa kebersihan sebagian dari iman. Di lain kesempatan, ia bahkan menyatakan bahwa kebersihan merupakan separoh iman.

Namun, kedudukan kebersihan yang begitu penting dalam Islam tersebut agaknya tidaklah menjadi pertimbangan para ulama fikih untuk meletakkan bab thoharoh sebagai bab pembuka kitab fikih. Lalu, apa pertimbangannya? Apa alasannya?

Kebersihan tubuh, pakaian, dan tempat adalah syarat ibadah ritual, khususnya shalat. Jika syarat tersebut tak terpenuhi, shalat yang kita lakukan menjadi tidak sah. Karena itulah, setalah dibuka dengan bab thoharoh, biasanya uraian dalam kitab-kitab fikih dilanjutkan dengan bab shalat.

Jadi, bab thoharoh sebenarnya merupakan bagian permulaan dari bab shalat. Dalam Fathul Mu'in, kitab fikih yang ditulis ulama Syafi'iyyah bernama Zainuddin al-Malibari, kita tak menemukan bab khusus tentang thoharoh. Pemaparan tentang thoharoh dimasukkan ke dalam bab shalat, yaitu pada pembahasan tentang syarat-syarat sahnya shalat.

Wawasan apa yang dapat kita pelajari dari fenomena tersebut? Kebersihan dalam logika ulama berbeda dengan kebersihan dalam logika masyarakat awam pada umumnya. Bagi ulama, kebersihan senantiasa berkaitan dengan shalat. Pusat dan poros aktivitas keseharian ulama adalah shalat, sehingga kebersihan pun tercakup dalam domain shalat. Kebersihan dijaga demi melakasanakan shalat secara sah, maksimal, dan sempurna. Dengan demikian, bagi ulama, menjaga kebersihan pasti bernilai ibadah. Gaya hidup bersih adalah ibadah.

Sementara itu, dalam nalar masyarakat awam, kebersihan mencakup lingkup aktivitas yang lebih luas. Tak sebatas shalat. Tak sebatas ibadah ritual. Bagi kalangan awam, menjaga kebersihan tak dengan sendirinya menjadi ibadah. Menjaga kebersihan tak senantiasa merupakan bagian dari ibadah. Ada motivasi dan orientasi lain di balik upaya menjaga kebersihan, misalnya supaya sehat, supaya terlihat beradab, atau supaya tak terkesan udik dan jorok.

Rabu, 13 Oktober 2021

Membangun Nirwana dalam Perbedaan

Pengikut Wahabi dari kalangan awam mengira bahwa golongan muslim lain memiliki pendapat yang berbeda dan mengamalkan cara beribadah yang berbeda dari mereka karena kelompok lain tersebut tidak berpegang pada dalil dari al-Quran dan/atau Sunnah. Menurut mereka, perbedaan pendapat dalam bidang fikih muncul karena golongan Wahabi konsisten mengikuti al-Quran dan Sunnah yang sahih, sedangkan golongan muslim lain tidak mengindahkan kedua referensi sakral tersebut. 

Golongan lain telah jatuh dalam kubangan bid'ah. Telah sesat dan menyesatkan. Karena itu, perlu diluruskan, dikoreksi, dan ditaubatkan. 

Benarkah perbedaan pendapat dalam fikih disebabkan sejumlah kelompok muslim tertentu tidak berpedoman pada al-Quran dan Sunnah? Kenyataannya, apa yang terjadi tidaklah demikian. Syariat tidak sesederhana yang dibayangkan para pengikut Wahabi.

Perbedaan pendapat fikihiah timbul bukan karena suatu kelompok berpedoman pada al-Quran dan Sunnah sedangkan kelompok lain mencampakkan al-Quran dan Sunnah. Perbedaan pendapat fikihiah antara lain muncul karena tafsir para ulama fikih yang berbeda-beda terhadap dalil yang sama.

Contohnya, ulama Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa niat merupakan kefardhuan dalam wudhu. Wudhu yg tidak disertai niat dinilai tidak sah. Di pihak lain, ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa wudhu yang tidak ada niatnya tetaplah sah. Sebab, dalam ibadah wasa-il sepertu wudhu, niat tidaklah wajib.

Yang dimaksud ibadah wasa-il tampaknya adalah ibadah yang wajib dilakukan karena berperan sebagai wasilah (perantara) atau variabel yang membuat suatu ibadah wajib menjadi sah dilakukan. Dalam hubungannya dengan shalat lima waktu yang hukumnya fardhu, wudhu berkedudukan sebagai ibadah wasa-il. Bila kita shalat tanpa berwudhu sebelumnya, maka shalat kita tentu tidak sah.

Kedua pendapat yang berbeda seputar niat wudhu di atas ternyata berpijak pada hadis yang sama, yaitu hadis populer yang berbunyi "innamal a'malu bin niyat". Hadis ini shahih menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim. Jadi, hampir dapat dipastikan bahwa hadis ini benar-benar bersumber dari Rasulullah. Benar-benar pernah diucapkan olehnya.

Menurut ulama Syafi'i, makna hadis tersebut adalah "innama shihhatu aktsaril al-a'mali bin niyat" (sahnya kebanyakan amal itu hanya dengan niat). Maksudnya, suatu amal/ibadah barulah dinilai sah apabila disertai niat. Berdasarkan penafsiran ini, Mazhab Syafi'i menetapkan bahwa niat merupakan kefardhuan dalam berwudhu, yang menentukan sah tidaknya wudhu.

Menurut ulama Hanafi, maksud hadis "innamal a'malu bin niyat" adalah "innama kamalul a'mali bin niyat" (kesempurnaan amal itu hanya dengan niat). Maksudnya, suatu amal/ibadah barulah dinilai sempurna apabila ada niatnya. Berdasarkan penafsiran ini, Mazhab Hanafi menetapkan bahwa niat dalam wudhu tidaklah wajib. Jika disertai niat, wudhu menjadi sempurna; dan jika tidak, wudhu tetap sah.

Kedua pendapat tersebut, meskipun berbeda, sama-sama benar dan sama-sama berlandaskan pada Sunnah yang shahih. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sikap kita terhadap perbedaan pendapat seputar niat wudhu yang terjadi di antara Mazhab Syafi'i dengan Mazhab Hanafi itu?

Para ulama telah merumuskan kaidah yang, bagi saya, maju sekali dan sangat solutif, yaitu "al-khuruj minal khilaf mustahabb" (keluar dari perbedaan pendapat merupakan hal yang disukai/dianjurkan). Yang dimaksud "keluar dari perbedaan pendapat" bukanlah bersikap abstain, yaitu tidak memilih satu pun opsi pendapat yang tersedia.

Maksud "keluar dari perbedaan pendapat" adalah "mengambil pendapat yang paling umum di antara semua opsi pendapat yang ada, sehingga pendapat-pendapat lain terangkul dan tercakup dalam luasnya spektrum pendapat yang paling umum tersebut". Dengan demikian, semua pendapat, dari yang spektrumnya paling sempit hingga yang paling luas, diakui dan dihargai.

Inti filosofi di balik kaidah fikih ini adalah "ngalah" demi kemaslahatan bersama. Tidak bersikap mau menang sendiri. Tidak pula merasa benar sendiri. Suatu hasil ijtihad tidak dengan sendirinya membatalkan hasil ijtihad yang lain. Al-ijtihad la yanqudhu bil ijtihad.

Contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut: Pengikut Mazhab Hanafi dalam konteks wudhu tetap berniat. Bukan saja karena niat wudhu menurut ulama Hanafi dapat menyempurnakan wudhu, tetapi hal itu juga dilakukan demi merangkul dan mengayomi pengikut Mazhab Syafi'i yang meyakini bahwa wudhu harus disertai niat. Sebagai buahnya, pengikut Mazhab Hanafi memperoleh dua pahala. Pertama, pahala menyempurnakan wudhu. Kedua, pahala menjaga kerukunan, persaudaraan, dan perdamaian.

Dengan menerapkan kaidah "al-khuruj minal khilaf mustahabb", perbedaan pendapat menjadi sesuatu yang indah dan memperkaya, bukan menjadi faktor yang memantik perpecahan dan memicu pertengkaran. Perdebatan fikih yang sifatnya ilmiah tidak berubah menjadi percekcokan fisik atau bahkan konflik berdarah. 

Perbedaan pendapat menjadi rahmat, bukan menjadi laknat (kutukan). Perbedaan pendapat menjadi berkah, bukan menjadi musibah. Perbedaan pendapat menjadi nirwana, bukan menjadi bencana.

Jumat, 24 September 2021

Berhala Keikhlasan

Tidak jadi berbuat baik dengan alasan menghindari ketidak-ikhlasan, itu adalah tanda kebodohan. Menghentikan perbuatan baik karena merasa sudah tak ikhlas lagi dalam melakukannya, itu adalah tanda kesombongan.


Dikatakan sombong karena kita yakin bahwa perbuatan baik yang kita lakukan benar-benar tulus, bersih dari pamrih dan keriyaan apapun. Apakah kita telah benar-benar ikhlas? Belum tentu. Pamrih amat halus. Kerap tak kita sadari. Riya bagai semut kecil yang berjalan di batu licin pada malam yang gelap gulita. Semut kecil itu nyaris sama sekali tak terlihat, bahkan tak disadari keberadaannya. Tak dirasakan kehadirannya.

Mungkin, kita menyangka bahwa kebaikan yang telah kita lakukan didasari keikhlasan. Padahal, setelah diselidiki secara sangat teliti, terlihatlah bahwa kebaikan tersebut dibangun di atas pondasi pamrih yang sedemikian halus.

Kalau perbuatan baik yang telah kita lakukan belum tentu ikhlas, rasionalkah bila kita menghentikan perbuatan baik tersebut karena merasa sudah tidak ikhlas lagi dalam melakukannya?

Kalau kita tidak jadi berbuat baik karena khawatir tidak ikhlas, padahal tidak ada jaminan pasti bahwa kita akan ikhlas dalam melakukan perbuatan tersebut, apakah itu bukan kebodohan namanya?

Maka, entah akan ikhlas atau tidak ikhlas, perbuatan baik lakukan saja. Tak usah banyak pertimbangan. Entah masih dilakukan secara ikhlas atau sudah tidak ikhlas lagi, perbuatan baik yang sudah berjalan teruskan saja.

Kalau memang tidak ikhlas, ya sudah, kita berharap rahmat Allah saja. Mudah-mudahan Allah menoleransi unsur ketidak-ikhalasan dalam perbuatan baik kita.

Dengan cara pandang ini, kita tidak memberhalakan keikhlasan. Pusat perhatian kita dalam beramal tetap hanya Allah: Allah yang membimbing kita untuk berbuat baik, Allah yang memampukan kita berbuat baik, Allah yang berwenang untuk membalas atau tak membalas perbuatan baik kita, Allah yang memutuskan untuk menerima perbuatan baik kita ataukah tidak menerimanya, dan Allah pulalah yang memberi kita rahmat dan ampunan jika dalam perbuatan baik yang kita lakukan terkandung anasir ketidak-ikhlasan.

Yang kita andalkan adalah Allah, bukan keikhlasan (yang belum tentu ada) dalam beramal, bukan juga amal/perbuatan baik itu sendiri. Dengan demikian, kita selamat dari sombong, bangga diri berlebihan, ujub, pamer, kecewa, dan putus asa.

Jika hakikat amal adalah kuasa, kehendak, dan rahmat Allah sehingga tidak ada sedikit pun bagian diri kita dalam amal itu, apa yang bisa kita sombongkan, pamerkan, dan banggakan? Justru manakala kita semata-mata mengandalkan Allah dan memusatkan perhatian kepada-Nya, kita menjadi lebih dekat dengan keikhlasan.

Kamis, 26 Agustus 2021

Ukuran Kedekatan

Upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, jelas perlu diukur. Jika tidak diukur, kita tidak tahu sudah sejauh mana pencapaian kita. Kita pun tidak tahu hal-hal apalagi yang sebaiknya kita lakukan supaya kita lebih dekat dengan Tuhan, atau supaya kita tidak semakin jauh dari-Nya.


Tapi, bagaimanakah kita dapat mengukur kedekatan kita dengan Tuhan? Ukuran seperti apa yang tepat kita gunakan?

Kekafiran Parameter Fisik

Segera muncul kilatan jawaban dalam benak kita: Tentu bukan ukuran yang bersifat fisik. Sebab, ungkapan "dekat dengan Tuhan" sama sekali tidak mengandung pengertian yang bersifat fisik dan keruangan. Bahasa gampangnya, jarak kita dengan Tuhan tidak bisa diukur dengan meteran. Sebab, Tuhan melampaui ruang dan waktu.

Mengatakan bahwa kedekatan kita dengan Tuhan bersifat fisik sama halnya dengan mereduksi kemahabesaran dan ketanzihan Tuhan. Dan itu adalah pemikiran yang mengandung unsur kekafiran.

Nyatanya, kini tak sedikit orang yang, barangkali tanpa sadar, berpemikiran "semacam" itu. Kira-kira, beginilah jalan pikiran mereka: Tuhan memiliki rumah-rumah. Salah satunya masjid.

Maka, kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya ditandai dengan kedekatan hamba tersebut dengan masjid. Kedekatan dengan Tuhan diukur berdasarkan frekuensi kedatangan ke masjid. Kian sering mengunjungi masjid, kian dekat seseorang dengan Tuhan. Kian jarang, kian jauh.

Tentu, "teori" dangkal demikian mudah dirobohkan. Korupsi uang wakaf dan zakat kadang dilakukan segelintir oknum takmir yang sangat dekat dengan masjid. Ia sangat sering mengunjungi masjid. Kita juga menemukan banyak muslim yang jauh dari masjid tetapi baik hati, dermawan, dan suka menolong sesama.

Jadi, secara ilmu tauhid dan secara sosio-kultural, kedekatan dengan Tuhan tidak bisa diukur dengan parameter yang bersifat fisik. Selanjutnya, kedekatan dengan Tuhan juga tak bisa diukur dengan parameter simbolis.

Ilusi Parameter Simbolis

Apa jaminan bahwa seseorang benar-benar dekat dengan Tuhan ketika dia mengenakan outfit hijrah? Jika dia berpenampilan shaleh/shalehah, tetapi gencar menyalah-nyalahkan, menghakimi, bahkan mengafir-ngafirkan saudaranya sesama pengikrar syahadat, apakah dia sungguh-sungguh dekat dengan Tuhan? Apakah mencari aib orang lain dan membongkarnya di depan publik merupakan tanda dekatnya seseorang dengan Tuhan? Apakah berburuk sangka terhadap orang lain dan merendahkan orang lain menunjukkan kedekatan dengan Tuhan?

Dimensi simbolis keagamaan yang lain, yaitu ritual, juga bukan tanda objektif kedekatan. Tentang shalat, kita barangkali hampir bosan mendengar pertanyaan mengapa shalat pada realitasnya tidak selalu bisa mencegah perbuatan nahi dan mungkar, padahal al-Quran mengatakan bahwa shalat mencegah kita melakukan dua kategori perbuatan buruk tersebut?

Jika ritual shalat berkorelasi positif dengan kedekatan kita kepada Tuhan, kita tak akan melontarkan pertanyaan demikian. Shalat rupanya adalah satu hal, sementara kedekatan dengan Tuhan adalah hal lain, yang keduanya tak selalu berkaitan, walaupun kita ingin melihat keduanya berkaitan langsung.

Ada muslim yang naik haji bermodalkan uang korupsi. Dan setelah bergelar haji, masih juga korupsi.

Kita bisa saja rajin melantunkan al-Quran sekadar untuk pamer. Pamer adalah gejela niat yang tidak ikhlas. Masak seseorang yang dekat dengan Tuhan beribadah secara tidak ikhlas?

Subjektivitas Parameter Moral

Jika tak bisa diukur dengan parameter yang fisis, simbolis, dan ritualistis, apakah kedekatan kita dengan Tuhan bisa diukur berdasarkan parameter moral? Tampaknya, juga tidak bisa. Kebaikan tidak objektif. Mau tak mau, kita harus mengakui bahwa kebaikan bersifat subjektif, relatif, bahkan rentan ditunggangi oleh kepentingan egoistis yang amat halus (an-nafs al-khofiyyah).

Misalnya, bersedekah. Secara teoretis, tidak ada yang menyangkal bahwa sedekah adalah perbuatan baik. Tapi, dalam praktiknya, sedekah belum tentu menjadi kebaikan.

Jika aku bersedekah untuk menjaga martabat, marwah, atau nama baikku, jelas sedekahku tak tergolong kebaikan, karena niatku tidak tulus untuk membantu sesama. Jika aku bersedekah karena musuhku yang kudengki juga bersedekah, maka sedekahku bukanlah kebaikan, walaupun masyarakat memuji sedekahku sebagai perbuatan baik. Jika aku bersedekah 10 juta kepada pengemis, aku barangkali akan dicerca netizen bahwa aku hanya mengajari pengemis tersebut melanggengkan kemalasan dan jiwa benalunya.

Jejak Nafsu dalam Parameter Niat

Ilustrasi itu menerangkan bahwa kebaikan ternyata tidak bisa dipakai sebagai ukuran objektif untuk mengevaluasi kedekatan kita dengan Tuhan. Bagaimana dengan niat atau keikhlasan? Sebagai awam yang belum mencapai maqom waliyullah, penilaian kita terhadap niat baik diri sendiri masih dipengaruhi nafsu.

Maksudnya, begini: Karena keterbatasan pengetahuan, pengamatan yang tak teliti, kekurangjujuran terhadap diri sendiri, dan ketidak-kritisan terhadap diri sendiri, maka tak jarang kita menyimpulkan bahwa kita sudah ikhlas. Padahal, ketika kini kita merenungkan kembali perbuatan baik yang dulu kita klaim ikhlas, kita menemukan bercak-bercak noda ketidak-ikhlasan dalam perbuatan yang ternyata belum tentu baik itu.

Mayoritas manusia cenderung memandang baik apa yang dilakukannya, cenderung memandang buruk apa yang dilakukan orang lain. Umumnya manusia ingin mengambil dan menggenggam kebaikan dan kebenaran semata-mata untuk dirinya sendiri. Kebanyakan Manusia ingin mengidentikkan dirinya dengan kebenaran dan kebaikan. Itulah yang membuat dia menderita secara batin.

Keadilan Semesta

Bila kebaikan dan niat ternyata tak bisa dipakai sebagai parameter objektif untuk mengukur kedekatan kita dengan Tuhan, lantas kita harus menggunakan parameter apa? Ada satu parameter kedekatan yang agaknya objektif, yaitu kecepatan dalam pembalasan karma. Dikatakan objektif karena pembalasan karma merupakan sunnatullah atau the law of universe, begitu pula tempo cepat lambatnya pembalasan karma.

The law of universe adalah hukum alam. Kehendak, nafsu, ego, dan pikiran manusia tidak kuasa mengintervensi, memanipulasi, atau mengotak-atik the law of universe. Keadilan semesta bersifat objektif.

Dalam kehidupan ini, ada satu realitas halus yang jarang kita sadari walaupun kita alami, yaitu semakin dekat dengan Tuhan, semakin cepat pula balasan karma buruk yang pernah kita lakukan. Hukum suci kehidupan tersebut merupakan cara semesta menjaga dan melindungi hamba-hamba yang dekat dengan Ilahi. Itulah metode pendidikan alamiah yang diterapkan semesta untuk meningkatkan ketakwaan kita.

Benar ajaran para leluhur Minangkabau: alam terkembang adalah guru. Kehidupan adalah guru yang mengajari kita tanpa melalui ceramah, khutbah, pengajian, dan kata-kata apa pun. Ia mendidik kita dengan "bahasa keheningan". Meskipun tanpa kata-kata, didikan sang guru kehidupan amat keras, sehingga kita sampai merintih-rintih dan meratap-ratap dibuatnya.

Di antara mata pelajaran yang diajarkan sang guru kehidupan adalah ketakwaan. Seolah-olah ia bersabda, berhati-hatilah dalam bertindak. Sebab, hukum karma berlaku. Keadilan semesta bukan khayalan belaka. Barang siapa berbuat baik, kendati sekecil dzarroh, ia pasti dan pasti akan "melihat" buah perbuatan baik itu. Barang siapa berbuat jahat, kendati sekecil dzarroh, ia pasti dan pasti akan "melihat" akibat perbuatan jahat tersebut.

Maka, jika engkau ingin selamat meniti jembatan kehidupan, berhati-hatilah dalam melangkah. Ingatlah selalu dengan keadilan semesta. Cepat atau lambat, keadilan semesta akan menunjukkan kidigdayaan dan kinerjanya. Sing becik ketitik, sing olo ketoro. Yang baik, akan ketahuan. Yang buruk, akan kelihatan.

Keadilan semesta akan bekerja dalam tempo cepat terhadap orang-orang yang dekat, mendekat, atau sedang didekatkan kepada Tuhan. Sebaliknya, keadilan semesta bekerja secara lamban terhadap orang-orang yang jauh dengan Tuhan, justru untuk memberi mereka kesempatan bertaubat. Bagi mereka, kinerja keadilan semesta di-pending, ditunda, atau ditangguhkan. Itulah yang dalam kamus tasawuf disebut istidroj (pelenaan).

Jadi, jangan heran bila ada pejabat korup yang kian hari kian kian tinggi jabatannya. Jangan bingung tatkala ada pengusaha yang serakah dan curang tetapi kekayaannya semakin bertambah saja.

Jangan pula merasa aman bila setelah berlaku jahat kepada sesama, kita tak segera menerima hukum karma atas kejahatan itu. Alih-alih menunjukkan cinta Tuhan kepada kita, jangan-jangan fenomena tersebut justru mengindikasikan bahwa kita sedang jauh dari-Nya. Sebab, demikianlah hukum semesta berbunyi: semakin kita menjauh dari Tuhan, kita semakin di-istidroj.

Catatannya, yang menjauh secara psikologis dari Tuhan adalah kita. Tuhan sendiri pada hakikatnya tidak pernah menjauh dari kita. Ia selalu dekat, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Ia selalu dekat, bukan hanya dengan kiai, pendeta, brahmana, atau biksu saja, melainkan juga dengan pelacur, preman, atau begal sekali pun.

Tapi, yang kita bicarakan sekarang bukan kedekatan kita dengan Tuhan dari segi hakikat. Yang tengah kita bicarakan adalah jauh dekatnya kita dengan Tuhan secara psikologis "dari sudut pandang kita", bukan dari sudut pandang Tuhan Yang Mahadekat dan Mahapengasih.

Dan untuk mengulangi apa yang sebelumnya telah disampaikan, semakin kita dekat dengan Tuhan, hukum karma berlaku secara semakin cepat terhadap kita. Semakin jauh, semakin lambat. Agaknya, inilah parameter yang lebih objektif untuk mengukur kedekatan kita dengan Tuhan.

Bekerjanya the law of universe ini mendorong kita untuk berintrospeksi dan memperbaiki diri. Tak bisa kita gunakan untuk menyimpulkan dan menghakimi dekat jauhnya orang lain kepada Tuhan. Sebab, hukum karma orang lain dialami dan dirasakan oleh orang bersangkutan. Kita tidak ikut mengalaminya.

Demikian pula, kita sendirilah yang mengalami dan merasakan hukum karma kita. Jika kita tak mau memperbaiki diri, kita sendirilah yang akan terus menerima hukuman/siksaan hingga kita kapok dan mau berubah. Kita tak menanggung akibat dari dosa orang lain. Orang lain pun tak menanggung konsekuensi dari dosa kita.

Wallahu a'lam....

Rabu, 18 Agustus 2021

Batas Kesaktian Uang

Kenapa kita begitu gigih memburu uang? Mungkin karena uang bisa dikonversi menjadi barang dan jasa apapun. Bahkan, ada yang berpikir bahwa uang bisa dikonversi menjadi apapun. 

Menurutnya, uang bisa membeli kebahagiaan, kehidupan, cinta, kedamaian jiwa, juga kedekatan dengan Tuhan. Uang seperti tongkat sihir yang bisa mengubah apapun sekehendak hati kita. Uang bisa mengadakan yang tiada, meniadakan yang ada.

Jika kita berhenti sejenak dari kesibukan mencari uang, sekadar untuk merenungkan hakikat uang, boleh jadi iman kita terhadap uang akan berkurang, biarpun hanya sedikit. Apakah uang memang dapat membeli apapun?

Bayangkan bahwa kita tersesat di gurun pasir. Saat itu, kita membawa sekardus dolar. Persediaan logistik sudah habis. Setelah dua hari tidak menemukan makanan dan minuman, kita sangat lapar, sangat haus.

Sekonyong-konyong kita berpapasan dengan sekelompok kafilah yang perbekalannya tinggal sedikit. Stok makanan dan minuman yang mereka miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Itu pun dicukup-cukupkan. Sebenarnya, mereka juga masih kekurangan.

Kita lalu bertanya kepada mereka, "Apa kalian punya sepotong roti dan segelas air? Jika ada, akan kubeli dengan dolarku yang sekardus ini."

Mereka tak menyambut tawaran kita. Kata mereka, "Walaupun emas segunung kau berikan kepada kami, kami tidak akan menjual makanan dan minuman kami kepadamu. Ini menyangkut nyawa kami. Uangmu tak ada harganya dibanding kehidupan kami."

Uang, seberapa pun banyaknya, tak bisa membeli kehidupan. Bahkan, juga tak bisa membeli kesehatan. Dan masih banyak hal lain yang tidak bisa ditukar dengan uang.

Cinta seseorang kepada kita, tak bisa kita beli dengan uang. Begitu pun kesetiaan sejati. Yang bisa dibeli dengan uang hanyalah loyalitas sesaat yang dilandasi prinsip dagang. Kalau kau beri aku uang, aku setia dan patuh kepadamu. Bila uangmu tak mengalir ke dompetku, untuk apa lagi aku setia dan patuh kepadamu?

Banyak wisatawan pergi berlibur ke Pulau Dewata demi mencari kedamaian jiwa. Tapi, mereka hanya memperoleh kedamaian jiwa sebentar. Setelah pulang ke daerah/negara asalnya, jiwa mereka kembali resah dan gelisah. Hati kembali kemrungsung.

Kedekatan dengan Tuhan tidak bisa dibeli dengan uang. Alangkah murahnya surga, yang merupakan manifestasi welas asih Ilahi, bila dapat kita beli dengan uang. Uang yang kita salurkan untuk sedekah. Uang yang kita sumbangkan untuk membangun masjid. Uang yang kita anggarkan untuk naik haji. Uang yang kita pakai untuk membeli baju koko, sarung, sorban, jilbab, atau gamis.

Dapatkah uang membeli welas asih Ilahi? Jika kita berpikir "dapat", itu artinya kita menyatakan bahwa kehendak Ilahi dapat dibeli dan bahwa uang lebih berkuasa daripada Tuhan. Bukankah ini pandangan jahanam yang mengandung unsur kekafiran?

Uang tak mahakuasa. Kesaktian uang ada batasnya. Dan karena itu, kita perlu menurunkan tingkat keimanan kita terhadap uang. Yang terbaik tentu kita bersikap kafir di hadapan uang. Kesaktian uang tidak abadi. Kesaktiannya temporal dan situasional, bergantung pada persepsi kolektif masyarakat, juga bergantung pada sesuatu yang hendak dibeli dengan uang.

Sikap kita terhadap uang seharusnya sewajarnya saja. Tidak perlu anti-uang seperti para sufi amatir. Tetapi juga jangan sampai menggilai uang sehingga melupakan hal-hal yang jauh lebih penting daripada uang, yaitu keluarga, kesehatan, kelestarian lingkungan, kemanusiaan, dan sebagainya. Pandemi Corona, krisis ekonomi, dan bertubi-tubi bencana alam, telah mengingatkan kita bahwa kesaktian uang ada batasnya.

Tidak ada larangan untuk mencari dan menambah pundi-pundi uang. Yang sebaiknya dihindari adalah nihilnya ketakwaan dan kewarasan dalam usaha mencari dan menggunakan uang. Apa kita ingin diberi peringatan yang lebih dahsyat daripada pandemi Corona dan rentetan bencana alam yang hingga kini sudah kita alami? 

Minggu, 13 Desember 2020

Muhammad, Rasul Cinta yang Disalahpahami

    SEBERAPA sayang Rasulullah kepada umatnya? Sangat sayang. Dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Imam al-Suyuthi mengutip sebuah riwayat dari Ibnu Jarir al-Thabari. Riwayat tersebut berkisah tentang perdebatan antara Rasulullah dengan sekolompok kafir dari kalangan Qurays.

Juru bicara kaum kafir Qurays berkata, “Muhammad, Anda memberi tahu kami bahwa Musa memiliki tongkat yang digunakannya untuk memukul batu, bahwa Isa menghidupkan orang mati, dan bahwa kaum Tsamud diberi unta ajaib. Maka, tunjukkanlah mukjizatmu supaya kami mengakui kebenaranmu.”

“Mukjizat apa yang kalian suka?” tanya Rasulullah.

“Jadikanlah Bukit Shafa sebagai emas.”

“Kalau saya melakukannya, apakah kalian akan mengakui kebenaran saya?”

“Ya. Demi Allah.”

Rasulullah pun berdiri dan berdoa. Jibril lalu turun menemuinya.

“Kalau Anda mau,” ujar Jibril kepada Rasulullah, “Bukit Shafa bisa saja berubah menjadi emas. Tapi, ketika mukjizat itu terjadi dan mereka tetap tidak beriman, pastilah kami benar-benar akan mengazab mereka. Namun, kalau Anda mau, Anda tak usah merespons tantangan mereka. Nantikan saja pertaubatan orang-orang yang bertaubat.”

Opsi mana yang Rasulullah pilih? Al-Quran menuturkan bahwa tatkala dihadapkan pada situasi demikian, sebagian rasul sebelum Muhammad memilih opsi mempertontonkan mukjizat, dengan konsekuensi azab bagi umat mereka.

Tapi perlu dicatat, opsi tersebut mereka pilih bukan karena mereka sudah jenuh dengan perilaku umat mereka yang menentang dan menantang. Bukan pula karena merajuk dan marah. Sama sekali bukan. Para rasul bukan manusia yang lemah hati dan rapuh jiwa.

Standar kemanusiaan mereka sangat tinggi. Belas kasih (compassion) mereka terhadap umatnya tidak usah diragukan lagi. Justru belas kasih itulah yang barangkali mendorong mereka untuk memilih opsi yang pertama. Dengan munculnya mukjizat, diharapkan umat segera menyambut kebenaran tauhid sehingga mereka lekas beranjak dari alam derita ke alam bahagia.

Rupanya, belas kasih Rasulullah Muhammad kepada umatnya lebih besar lagi. Rasulullah sangat sayang kepada umatnya. Karena itu, ia tidak memilih opsi mukjizat dalam arti peristiwa ajaib yang menyalahi hukum alam. Meskipun Jibril sudah siap mengubah Bukit Shafa menjadi bongkahan emas raksasa, Rasulullah tak mengambil fasilitas dari Langit tersebut.

Ia tak ingin umatnya diazab walaupun mereka terus-menerus menentang, menantang, menyakiti, mengitimidasi, bahkan mempersekusinya. Dalam konteks akhlak (bukan dalam konteks keadilan), prinsip Rasulullah adalah kejahatan tidak dibalas dengan kejahatan. Mata tak dibalas dengan mata. Luka tak dibalas dengan luka. Nyawa tak dibalas dengan nyawa.

Kejahatan harus dibalas dengan kebaikan. Dengan kebaikan yang dilandasi kasih sayang, bukan kebaikan politis yang akal-akalan dan sarat kepentingan pribadi. Penganiayaan dibalas dengan maaf dan cinta.

Rasulullah pun sangat mempercayai umatnya, Ia menaruh harapan yang tinggi terhadap mereka. Saat perdebatan “Shafa Emas” itu berlangsung, memang masih banyak penduduk Mekah yang belum beriman. Tapi, suatu saat, sebagian di antara mereka mudah-mudahan bertaubat dan beriman.

Nyatanya, kepercayaan dan harapan tersebut terbukti. Ketika Mekah ditaklukkan oleh umat Islam yang sebelumnya mengungsi dan membangun kekuatan di Madinah, bukan hanya sebagian tetapi hampir seluruh penduduk Mekah bertaubat. Berbondong-bondong mereka mengikrarkan syahadat. Kesuksesan dakwah itu adalah buah dari benih cinta yang bertahun-tahun sebelumnya telah ditaburkan Rasulullah.

Maka, tidak salah dan tidak pula berlebihan jika kita menggelari Rasulullah Muhammad sebagai rasul cinta. Perilakunya adalah eskpresi cinta yang murni dan sejati. Cinta semacam ini sekarang amat dirindukan dan dibutuhkan peradaban yang sedang gelap-gelapnya. Rasulullah adalah teladan cinta. Bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Ia adalah rahmat bagi peradaban, bahkan bagi semesta—dulu, sekarang, dan hingga masa akan datang.

Hanya saja, ajaran dan sosoknya kini disalahpahami banyak orang, terutama di Barat. Karena perilaku negatif segelintir muslim dan karena kesalahpahaman terhadap kandungan al-Quran, Rasulullah kemudian dicap sebagai guru kebencian yang mengajarkan doktrin pertumpahan darah. Betapa besar dan agungnya ketokohan Rasulullah dalam sejarah umat manusia sampai-sampai hingga kini pun, sekitar 1.400 tahun setelah ia wafat, ia masih disalahpahami. Masih kontroversial.

Barangkali, karena kesalahpahaman itu, kemudian di Barat muncul para seniman yang merepresentasikan figur Rasulullah secara negatif dalam karya seni mereka. Dante Alighieri (w. 1321 M) dengan Divina Commedia-nya adalah contoh klasik. Karikatur Rasulullah ala Charlie Hebdo merupakan contoh yang paling gamblang.

Maka, diterbitkan dan dibelanya karikatur tersebut sebaiknya tak sekadar dihadapi dengan demonstrasi, protes, dan boikot, melainkan juga dengan menunjukkan kepada masyarakat nonmuslim bahwa Nabi Muhammad adalah rasul yang sesungguhnya mengajarkan cinta dan kemanusiaan. Rasul yang kepribadian, sikap, dan ajarannya kerap disalahpahami.

Rabu, 13 Mei 2020

SAHABAT NABI YANG BERLEBIHAN DALAM BERIBADAH

Kadang-kadang kita menilai para sahabat Nabi Muhammad secara berlebihan. Seolah-olah mereka seperti malaikat. Tidak pernah salah. Padahal, mereka adalah manusia biasa seperti kita. Mereka juga pernah salah seperti kita.

Bedanya, kita jarang belajar dari kesalahan. Sementara itu, kebanyakan sahabat Nabi mau belajar dari kesalahan yang telah mereka lakukan. Di situlah letak kehebatan sesungguhnya dari para sahabat. Itulah alasan mengapa kita  memuliakan mereka.

Kita mengambil pelajaran dari kesalahan mereka. Kita pun belajar banyak dari upaya mereka untuk berdamai dengan dampak psikis akibat kesalahan tersebut.

Salah seorang sahabat Nabi yang mewariskan pelajaran berharga semacam itu kepada kita adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash. Ia diperkirakan lahir pada tahun 616 M. Masuk Islam pada tahun 7 Hijriah. Abdullah lebih dahulu masuk Islam daripada ayahnya. Ketika Nabi meninggal, Abdullah baru berusia 17.

Abdullah terkenal rajin beribadah. Terlalu  bersemangat dalam beribadah. Sedemikian rajinnya sampai-sampai demi ibadah, dia mengabaikan kewajibannya terhadap keluarga.

Setelah Abdullah menikah, ayahnya (Amr bin al-Ash) berkunjung ke rumahnya. Tapi, sang anak tidak menyambut. Amr hanya disambut istri Abdullah. Abdullah rupanya sedang sibuk beribadah. Selalu beribadah tiap malam dan siang. Selalu berpuasa tiap hari.

Amr kemudian bertanya kepada menantunya, "Bagaimana kondisi kalian?"

"Aku," jawab istri Abdullah, "sebenarnya tidak mencela akhlak dan kesalehannya (Abdullah). Tapi, sepertinya dia tidak butuh perempuan."

Mendengar jawaban tersebut, Amr tampaknya kemudian menasihati Abdullah. Tapi, sepertinya sang anak tidak mendengarkan nasihat tersebut. Karena itu, Amr melapor kepada Rasulullah. Amr barangkali berpikir bahwa hati Abdullah hanya akan lunak jika disentuh kata-kata Rasulullah.

Di depan Rasulullah, Amr menuturkan perilaku Abdullah yang beribadah secara berlebihan. Suatu hari, ketika berjumpa dengan Abdullah, Rasulullah pun menegur sahabatnya tersebut untuk tidak berlebihan dalam beribadah.

Tapi, Abdullah justru berkata, "Ya Rasulullah, izinkanlah aku menggunakan tenagaku sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah."

"Jika engkau melakukan itu semua," ucap Rasulullah, "tubuhmu akan lemah. Matamu akan sakit karena tak tidur. Sesungguhnya tubuhmu punya hak. Keluargamu punya hak. Dan para tamu juga punya hak atas dirimu."

Selanjutnya terjadi tawar-menawar jumlah ibadah. Rasulullah menganjurkan Abdullah untuk berpuasa tiga hari saja tiap bulan. Abdullah menawar. Ia merasa kuat mengerjakan puasa lebih banyak. Waktu itu, Abdullah masih muda. Umurnya masih belasan.

Karena Abdullah menawar, Rasulullah menaikkan level anjuran. Puasa dua hari saja tiap minggu, yaitu puasa Senin Kamis. Abdullah menawar lagi. Anjuran terakhir: puasa Nabi Daud. Sehari puasa. Sehari berbuka.

Kecepatan khatam membaca al-Quran juga menjadi arena negosiasi. Abdullah dianjurkan untuk mengkhatamkan al-Quran per 20 hari sekali. Abdullah menawar. Anjuran dinaikkan: 10 hari sekali. Abdullah masih ngotot menawar. Akhirnya, Rasulullah menyarankan Abdullah untuk mengkhatamkan al-Quran tiap 3 hari sekali.

Rasulullah melanjutkan nasihatnya, "Lakukanlah apa yang kuperintahkan. Dan taatilah ayahmu."

Pesan Rasulullah itu amat membekas di hati Abdullah. Ia berusaha keras untuk menaati perintah ayahnya. Sebelum Perang Shiffin pecah (657 M/31 H), Amr bin al-Ash mengajaknya bergabung ke dalam kubu Muawiyah. Perang Shiffin adalah perang sipil dalam tubuh umat Islam yang menghadap-hadapkan dua kubu politik, yaitu kubu Muawiyah bin Abi Sufyan dan kubu Ali bin Abi Thalib.

Abdullah tampaknya ingin netral dalam perang saudara itu. Dia tidak ingin memihak salah satu kubu, apalagi berperang melawan keluarga Rasulullah. Tapi, Amr bin al-Ash menyuruhnya untuk membantu Muawiyah. Karena ingat dengan pesan Rasulullah untuk menaati ayahnya, dengan berat hati Abdullah ikut bertempur di pihak Muawiyah.

Abdullah masih hidup setelah pertempuran usai. Tapi, dia merasa bersalah kepada Ali dan keluarganya. Kesertaan Abdullah dalam Perang Shiffin menjadi beban jiwa sepanjang hayat.

Suatu hari, saat Abdullah sedang berbincang-bincang bersama teman-temannya di depan Masjid Nabawi, putra Ali, yaitu Husein, lewat. Husein beruluk salam kepada mereka. Abdullah menjawab salam tersebut dengan kikuk. Tapi, dia sebenarnya bahagia sekali. Ada tanda bahwa Husein telah memaafkannya. Husein tidak dendam kepadanya.

Karena itu, setelah Husein berlalu dan tak kelihatan lagi, Abdullah berkata seperti ini kepada teman-temannya: "Sukakah kalian aku tunjukkan penghuni bumi yang paling dicintai penduduk langit? Dialah yang baru saja lewat di depan kita. Husein bin Ali. Sejak Perang Shiffin, ia tak pernah bicara denganku. Sungguh, ridanya terhadapku lebih kusukai dari barang berharga apapun juga."

Setelah peristiwa tersebut, Abdullah mengajak Abu Sa'id al-Khudri untuk berkunjung ke rumah Husein. Abu Sa'id adalah sahabat sepuh yang sangat dihormati dan disegani para sahabat lain. Husein tentu juga menghormati Abu Sa'id. Abdullah mengajak Abu Sa'id sebagai penyambung lidahnya supaya upaya Abdullah untuk meminta maaf kepada Husein berjalan lancar.

Abu Sa'id bersedia membantu Abdullah. Mereka pun berkunjung ke rumah Husein. Setelah dibuka dengan basa-basi, obrolan kemudian menjurus pada Perang Shiffin dan permintaan maaf Abdullah.

Kepada Abdullah, Husein bertanya, "Apa alasan Anda ikut berperang di pihak Muawiyah?"

"Suatu hari," jawab Abdullah, "aku diadukan ayahku, Amr bin al-'Ash, kepada Rasulullah. Ayahku berkata, 'Abdullah ini puasa tiap hari dan beribadah tiap malam'. Rasulullah berpesan kepadaku, "Abdullah, salat dan tidurlah. Berpuasa dan berbukalah. Dan taatilah ayahmu.' Sewaktu Perang Shiffin, ayahku mendesakku dengan keras agar ikut bersamanya [untuk membela Muawiyah]. Aku pun pergi. Tapi, demi Allah, [dalam perang itu] aku tak pernah menghunus pedang, melempar tombak, atau pun melepas anak panah."

Husein adalah sosok yang halim dan pemaaf. Dia dan kakaknya, Hasan, dikenal memiliki keihsanan yang tinggi. Saya yakin, bahkan sebelum Abdullah meminta maaf, Husein sudah memaafkannya.

Tapi, bagi Abdullah, selama dia belum meminta maaf langsung kepada Husein, hatinya masih belum tenang. Jiwanya masih memikul beban berat, yaitu rasa bersalah yang mendalam dan tak berkesudahan.

Sesudah meminta maaf kepada Husein dan melihat langsung kelapang-dadaan cucu Rasulullah tersebut, hati Abdullah menjadi tenang. Langkah jiwanya terasa ringan. Ia akhirnya meninggal pada usia 72 tahun saat beribadah di langgarnya.

Kisah ini merupakan gambaran singkat sisi manusiawi salah seorang sahabat. Para sahabat Nabi bukan malaikat. Mereka manusia biasa seperti kita. Sebagai manusia, mereka pernah melakukan kesalahan. Tapi, sebagaimana yang dialami Abdullah bin Amr bin al-Ash, mereka belajar dari kesalahan tersebut sehingga bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik, meskipun proses itu sangat berat dilakoni.

Di situlah letak kemuliaan para sahabat Nabi. Mereka adalah guru mulia. Riwayat hidup mereka menjadi sumber pelajaran berharga bagi kita. Mereka mendidik kita melalui perbuatan, tak hanya melalui ucapan. Semoga Tuhan senantiasa meridai dan merahmati mereka.


Catatan:

1) Halim atau hilm adalah sifat terpuji menurut Islam. Arti halim adalah "tidak membalas dendam meskipun mampu melakukannya". Untuk melakukan kehaliman, diperlukan kesabaran, pemakluman, dan permaafan.

2) Ihsan adalah idealitas moral yang menjadi tujuan agama Islam. Yang dimaksud ihsan adalah apabila Anda diberi, Anda membalas pemberian tersebut dalam jumlah yang berkali lipat lebih banyak. Anda berbagi walaupun kepada orang kikir. Bila Anda dilukai, Anda memaafkan dan tidak menuntut keadilan. Anda berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat terhadap Anda. Sebagai nilai moral, kedudukan ihsan lebih tinggi daripada adil. Ada dua metode untuk mencapai dan menghayati ihsan, yaitu musyahadah (Anda beribadah kepada Allah seolah-olah Anda melihat-Nya) dan muraqabah (Anda beribadah kepada Allah sambil menyadari bahwa Allah melihat Anda).